Selasa, 14 April 2009

Bertanggung Jawab Terhadap Emosi - 1

“Man must cease attributing his problems to his environment, and learn again to exercise his will - his personal responsibility.” Albert Einstein

Sejak kecil kita diajarkan untuk BERTANGGUNG JAWAB. Tetapi pada umumnya kita diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap TINDAKAN kita, misalnya tanggung jawab dalam hal keuangan, tanggung jawab dalam pekerjaan, atau tanggung jawab kepada masyarakat. Itu semua memang penting, tetapi saya ingin mencoba melihat lebih dalam, dan menjawab pertanyaan ini: apakah prinsip tanggung jawab bisa ditarik lebih jauh, tidak hanya tanggung jawab dalam soal tindakan, namun juga “TANGGUNG JAWAB DALAM EMOSI?”

Saya anggap ini pertanyaan yang penting karena emosi, seperti marah, sedih, gembira, tertekan, nelangsa, bangga, memegang peranan cukup sentral dalam menentukan apakah kita bahagia atau tidak. Emosi juga berpengaruh cukup nyata dalam relasi kita dengan orang lain. Emosi kadang bisa menghalangi atau bahkan menggagalkan usaha kita untuk mencapai tujuan jangka panjang

Akan saya mulai dengan pernyataan yang mungkin mengejutkan bagi pembaca.

TIDAK ADA SESUATUPUN ATAU SESORANGPUN YANG BISA MEMBUAT ANDA EMOSI ATAU TIDAK EMOSI. ANDA SENDIRI YANG MENENTUKAN EMOSI ANDA. ANDA TIDAK BISA MENYALAHKAN ORANG LAIN SEBAGAI PENYEBAB EMOSI ANDA.

Nah mulai terasa nada tanggung jawab dalam pernyataan itu bukan?. Tapi mungkin anda mengira saya tidak realistis dan setengah gila dengan mempercayai pernyataan itu. Ketika saya menyampaikan pernyataan itu pada kawan-kawan terdekat, hampir semua memberi tanggapan seperti ini: ”ah ... jelas-jelas si X membuat saya marah, seandainya dia tidak mengatakan apa yang dikatakannya, kan saya tidak akan marah, jelas dia menyebabkan saya emosi, dia dong yang harus bertanggung jawab terhadap kata-katanya, bukan saya”.

Kata kunci di sini adalah kata “menyebabkan,” karena itu mari kita mulai diskusi dan pemahaman kita tentang sebab-akibat.

Tentu saja kita mengerti hukum sebab akibat. Kita dorong pensil di meja, pensil menggelincir sampai pinggir meja, lantas jatuh. Dorongan saya ditambah gaya gravitasi menyebabkan pensil jatuh dari meja. Dalam dunia fisika hukum sebab akibat sangat jelas, namun dalam dunia emosi, hubungan sebab akibat ini tidak sejelas dunia fisika.

Ketika seseorang mengatakan sesuatu, apakah kata-kata itu menyelusup ke dalam benak kita dan ”menekan tombol marah”? Ketika sesorang mengatakan yang buruk tentang penampilan kita, pakaian kita, apakah dia mengirim ”gelombang kekecewaan” yang menyebabkan emosi kecewa anda? Tentu saja tidak. Jika memang betul ada ”gelombang kecewa” maka kata-kata yang sama akan menyebabkan reaksi yang sama pada semua orang. Tapi nyatanya tidak bukan? Bagaimana mungkin suara yang menjalar lewat udara, ditangkap telinga kita, kemudian secara otomatis menimbulkan tanggapan emosi. Saya mulai curiga bahwa antara kata-kata yang diucapkan seseorang dan reaksi emosi kita, ada hal lain yang menentukan.

Menurut saya, orang sulit memahami konsep”bertanggung jawab terhadap emosimu sendiri” karena orang tidak bisa membedakan antara PENGARUH dan KENDALI (KONTROL). Ini yang akan saya bahas terlebih dahulu.

Pengaruh dan Kendali

Ada perbedaan yang halus antara ”pengaruh” dan ”kendali”. Pengaruh mempunyai potensi untuk menyebabkan sesuatu, tetapi secara tidak langsung. Sedangkan kendali mempunyai akibat langsung terhadap hasil. Mari kita simak kasus di bawah ini yang memberi ilustrasi tentang peran ”pengaruh” dan ”kendali” dalam membentuk emosi seseorang.

Lina dan suaminya Henri, dua pasangan pekerja muda, menghadapi kesulitan keuangan dan sepakat untuk berhemat sampai mereka bebas dari utang. Suatu hari ketika berada di mall, Lina melihat arloji yang sudah lama diidamkan dan membelinya seharga Rp. 2.000.000. Ketika Henri melihat tagihan kartu kredit, dia marah besar. ”Koq bisa kamu boros begitu”. ”Kita kan sedang terlibat utang” teriaknya.

Apa yang menyebabkan Henri marah? Apakah kondisi keuangan mereka? tagihan kartu kredit?, pembelian Arloji? Lina yang boros? Atau semuanya?

Ternyata bukan semua itu. Yang menyebabkan Henri marah adalah keyakinannya (BELIEF) bahwa ”Suami yang baik adalah suami yang bisa mencukupi kebutuhan istrinya”. Keyakinan tersebut memberi makna pada insiden kartu kredit ini yaitu: dia bukan suami yang baik, karena dia tidak mampu membelikan arloji untuk istrinya. Henri menjadi marah kepada Lina, karena secara tidak langsung telah membuat dia merasa bukan sebagai suami yang baik. Insiden kartu kredit memaksa Henri untuk ”melihat” sesuatu yang tidak ingin dia ”lihat”.

Lina, kondisi keuangan, tagihan kartu kredit, semuanya MEMPENGARUHI keyakinan Henri tentang apa artinya “menjadi suami yang baik”. Jadi: Orang sekitar kita bisa memberi PENGARUH pada keyakinan kita. Namun kita mempunyai KENDALI langsung terhadap apa yang kita yakini. Siapa yang menentukan keyakinan Henri? Siapa lagi kalau bukan Henri sendiri. Jika Henri adalah pemilik keyakinannya, dia memiliki kuasa untuk menilai ulang apa yang diyakininya kalau dia mau.

Hal-hal di luar kita, seperti orang-orang atau peristiwa-peristiwa di sekitar kita bisa memberi pengaruh pada apa yang kita yakini, tapi anda sendiri dan hanya anda sendiri yang memberi makna pada peristiwa-peristiwa tersebut. Tak ada seorangpun yang bisa membuat anda emosi, tentu saja sekitar kita mempengaruhi, tetapi hanya anda sendiri yang menjadi tuan bagi keyakinan anda, anda sendiri yang memiliki KENDALI tentang apa yang anda yakini.

Masih belum yakin dengan penalaran di atas?

Mari kita ganti keyakinan Henri. Mencukupi kebutuhan istrinya tidak lagi menjadi kriteria suami yang baik bagi Henri. Ada banyak kriteria lain, namun mencukupi kebutuhan istrinya tidak lagi menjadi kriteria utama suami yang baik bagi Henri.

Henri tidak lagi meragukan dirinya sebagai suami yang baik. Ketika Henri melihat tagihan kartu kredit, reaksi yang muncul bukan marah tapi heran dan bertanya-tanya: “bukankah kita sudah sepakat untuk menunda pembelian barang yang mahal-mahal” pikirnya. Henri bertanya kepada Lina, dan Lina mengakui bahwa dia sudah mendambakan arloji itu sejak lama, Lina sudah sangat berhemat dan menabung selama tiga bulan dan saat itu dia ingin memanjakan dirinya sendiri dengan membeli arloji tersebut. Lina mengaku salah bahwa dia telah melanggar janji, dan meminta maaf. Mereka mendiskusikan “puasa” mereka, dan sepakat untuk “merayakan” kesulitan keuangan mereka dengan makan malam di restoran yang nyaman sebulan sekali.

Henri mengubah keyakinannya, dan dengan mengubah keyakinannya reaksi emosionalnya juga berubah. “Pemborosan” Lina, tagihan kartu kredit memang memberi pengaruh pada Henri, namun pengaruh itu tidak lagi memilik kuasa pada Henri, setelah keyakinan Henri berubah. (bersambung)

1 komentar: