Selasa, 14 April 2009

Bertanggung Jawab Terhadap Emosi - 2

Dalam film The Devil Wear Prada ada satu episode yang mengilustrasikan soal tanggung jawab terhadap emosi ini juga. Secara singkat Andy, pemeran utama di film itu, mengeluh, mengeluh, mengeluh pada rekan kerjanya Nigel tentang bosnya, Miranda, yang tidak pernah menghargai pekerjaannya. Andy merasa kecewa karena ketika Andy berhasil melaksanakan tugasnya, Andy tidak mendapat penghargaan, tapi ketika gagal melaksanakan tugas Miranda, Miranda marah besar. Dialog lengkapnya seperti ini:

Andy Sachs: She hates me, Nigel.
Nigel: And that's my problem because... Oh, wait. No, it's not my problem.
(perhatikan di sini, kedengarannya Nigel dingin, tidak punya rasa simpati dan empati, tetapi sebetulnya Nigel sudah mulai memberi isyarat agar Andy bertanggung jawab terhadap emosinya sendiri)

Andy Sachs: I don't know what else I can do because if I do something right, it's unacknowledged. She doesn't even say thank you. But if I do something wrong, she is vicious.
(Andy masih berusaha mengalihkan tanggung jawab tentang keadaan emosinya kepada Miranda)

Nigel: So quit.
(Nigel menantang Andy dengan pilihan berat)

Andy Sachs: What?
Nigel: Quit.
Andy Sachs: Quit?
Nigel: I can get another girl to take your job in five minutes... one who really wants it.
(Nigel kembali menunjukkan realitas keras yang dihadapi Andy, bahwa sebetulnya Andy tidak terlalu penting bagi perusahaan)

Andy Sachs: No, I don't want to quit. That's not fair. But, I, you know, I'm just saying that I would just like a little credit... for the fact that I'm killing myself trying.
(Andy mulai melunak, namun masih mengelak, masih berusaha mengalihkan tanggung jawab emosinya kepada Miranda, dia masih berharap Miranda berubah)

Nigel: Andy, be serious. You are not trying. You are whining. What is it that you want me to say to you, huh? Do you want me to say, "Poor you. Miranda's picking on you. Poor you. Poor Andy"? Hmm? Wake up, six. She's just doing her job. Don't you know that you are working at the place that published some of the greatest artists of the century? Halston, Lagerfeld, de la Renta. And what they did, what they created was greater than art because you live your life in it. Well, not you, obviously, but some people. You think this is just a magazine, hmm? This is not just a magazine. This is a shining beacon of hope for... oh, I don't know... let's say a young boy growing up in Rhode Island with six brothers pretending to go to soccer practice when he was really going to sewing class and reading Runway under the covers at night with a flashlight. You have no idea how many legends have walked these halls. And what's worse, you don't care. Because this place, where so many people would die to work you only deign to work. And you want to know why she doesn't kiss you on the forehead and give you a gold star on your homework at the end of the day. Wake up, sweetheart.
(Di sini Nigel sacara terus terang berkata kepada Andy, bahwa yang dilakukan Andy tidak lebih dari sekedar mengeluh. Karena itu tidak layak mendapat simpati. Lantas Nigel menunjukkan bahwa sumber penderitaannya sebetulnya bukan ada pada Miranda, tetapi ada dalam diri Andy sendiri. Sebetulnya Andy tidak terlalu menghargai bidang kerja adi busana, itu yang menjelaskan mengapa Miranda tidak menghargai Andy)

Dalam film itu, berkat pencerahan Nigel, pikiran Andy terbuka, dia mulai bisa menghargai dunia adi busana. Pesan utama yang hendak saya sampaikan dari ilustrasi ini adalah, ketika keyakinan Andy berubah, maka emosi Andy terhadap Miranda-pun berubah. Andy bisa mengembangkan potensinya secara sepenuh-penuhnya sejak itu. Di akhir cerita, keyakinan Andy tentang dunia adi busana berubah lagi, dia keluar dari dunia adi busana, namun dia keluar dengan kesadaran penuh, bukan karena reaksi emosional, Andy keluar dengan hati yang bersih, tanpa dendam atau sakit hati. Bahkan tersirat pandangan belas kasih Andy terhadap Miranda di film tersebut.

***

Betapa seringnya kita menghadapi situasi yang sama seperti yang dihadapi Andy, di kantor, di keluarga, di lingkugan teman-teman dsb, kita berharap orang lain berubah. Ketika harapan kita tidak terpenuhi, kita tidak berhasil mendapatkan yang kita inginkan, kita kecewa. Mari kita belajar dari film tersebut. Apakah kita menghadapi pilihan yang sama seperti pilhan yang dihadapi Andy?:

Berkat bantuan Nigel, Andy berhasil, memahami realitas dan fokus pada pilihan-pilihan yang dihadapinya. Pilihan pertama berharap Miranda berubah dengan cepat jelas tidak realistis, seperti berharap loyang berubah menjadi emas. Pilihan kedua, mengundurkan diri merugikan bagi Andy, karena bekerja di perusahaan yang prestisius tersebut akan membuka banyak pintu di masa depan, jadi tinggal tersisa satu pilihan, pilihan ketiga, mengubah keyakinanya tentang situasi yang dihadapi. Itu pilihan Andy. Dengan berubahnya keyakinannya, keadaan emosinya juga berubah. Mengeluh pada dasarnya adalah ungkapan keinginan kita agar orang lain berubah, dan menyalahkan orang lain atas kekecewaan kita.

***

Renungan di atas menurut saya membawa tiga kabar baik yang akan membebaskan kita dari belenggu emosi.

  • Kabar baiknya adalah: tidak ada seorangpun yang bisa menentukan emosi anda
  • Kabar yang sungguh baik adalah: anda sebetulnya juga bukan penyebab emosi orang lain
  • Kabar yang sungguh-sungguh baik adalah: kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri jika kita mau mengubah keyakinan-keyakinan yang membuat kita emosi.

Mengapa sulit diterima?

Apakah sampai di sini anda masih menolak pernyataan di atas?, menolak bertanggung jawab terhadap emosi anda sendiri. Untuk itu saya hanya bisa bertanya, adakah penalaran yang salah dalam paparan di atas? Jika tidak ada kesalahan logika dalam pemaparan di atas, mengapa anda tetap menolak?

Tetapi pada saat yang sama, saya bisa mengerti mengapa anda menolak. Mengapa begitu mudah kita mengatakan, kamu membuat saya emosi. Mengapa sulit sekali untuk menerima pemikiran “bertanggung jawab terhadap emosi dan kebahagiaan kita sendiri?”

  • Kemungkinan pertama, beban hidup yang berat telah membuat kita tidak mampu untuk menerima bahwa emosi dan kebahagiaan adalah tanggung jawab kita sendiri. Bertanggung jawab terhadap emosi berarti kita harus menilai ulang keyakinan-keyakinan kita, merenung dan memikirkannya. Butuh waktu dan seringkali menyakitkan untuk melihat ke dalam diri sendiri. Mungkin juga ada ketakutan, kalau kita melihat kedalam kita akan berubah, dan perubahan seringkali menakutkan. Lebih ringan dan mudah untuk menggeser tanggung jawab itu ke orang lain.
  • Kemungkinan lain, kita sudah diajari, diprogram, diindoktrinasi untuk berpikir bahwa tanggung jawab hanya berlaku untuk TINDAKAN, tanggung jawab soal-soal duniawi seperti tanggung jawab dalam pekerjaan, dalam sekolah, masyarakat. Untuk soal emosi, aturannya lain. Tapi teliti lagi penalaran saya di atas, bukankah tanggung jawab juga berlaku utuk soal emosi?.
  • Kita sudah terlatih untuk tidak mempertanyakan lagi nilai-nilai yang menurut masyarakat benar. Sehingga tidak terlintas lagi dibenak kita bahwa cara berpikir kita membawa konsekwensi ketidakbahagiaan. Misalnya ajaran seperti ini: manusiawi kalau kita senang jika dipuji dan marah jika dihina, implisit dalam ajaran ini adalah kita menggeser tanggung jawab tentang keadaan emosi kita kepada orang lain. Orang lain yang menentukan kebahagiaan kita melalui pujian dan celaannya. Anda ingin tetap dengan keyakinan itu? Boleh-boleh saja, apa hak saya untuk melarang anda, saya hanya mau mengingatkan konsekwensinya. Anda senang menerima pujian? Terima konsekwensinya bahwa anda akan mudah terganggu oleh celaan. Itu satu paket. Pertimbangkan juga kemungkinan ini, pujian dan celaan dapat mempengaruhi kemampuan anda untuk menilai secara obyektif. Jika obyektifitas bukan nilai yang penting dalam hidup anda, logis jika anda memilih menikmati pujian dan jengkel terhadap celaan. Namun jika anda menilai obyektifitas adalah nilai yang penting, masuk akal juga bukan jika anda tidak menganggap terlalu serius pujian dan celaan?
  • Kemungkinan lain lagi, kita belajar dari pengalaman bahwa emosi yang diekspresikan adalah alat kendali yang sangat efektif untuk mengubah perilaku orang lain sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Kita belajar dari pengalaman: melalui ekspresi marah kita bisa membuat orang takut, ekspresi sedih untuk mendapat simpati, ekspresi senang dan pujian untuk mendorong orang lain. Sungguh alat kendali yang ampuh agar orang lain hidup sesuai dengan keinginan-keinginan kita. Ironisnya, kalau kita gagal mengubah orang lain melalui ekspresi emosi kita, gagal membuat orang lain takut dengan kemarahan kita, gagal membuat orang lain simpati dengan kesedihan kita, kita semakin emosi dan semakin berharap orang lain berubah. Kalau masih gagal juga, kita melakukan hal yang paling ridak masuk akal, menghukum diri kita sendiri dengan NELANGSA.

Pertanyaannya adalah apakah kita punya hak untuk menuntut orang lain agar dia hidup dan bertindak sesuai dengan harapan-harapan kita, agar dia hidup dan bertindak seuai dengan keinginan kita. Kita takut kehilangan alat kendali itu, dan kita tidak ingin membebaskan orang lain. Terutama, kita tidak ingin orang lain bebas dan jujur mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka tentang kita.

Fungsi Emosi

Lantas apa fungsi emosi seperti marah, sedih, nelangsa, benci, dendam, senang, gembira. Apakah kita harus menekannya? Menurut ilmu psikologi menekan (represi) dan berusaha melupakan emosi (denial) malah bisa mengakibatkan neurotis. Bisa juga mematikan sumber dinamika hidup.

Seperti air yang dibendung, bisa menjebol bendungan, emosi yang dibendung bisa menjebol jiwa kita. Tetapi seperti air yang dibiarkan meluap ke mana-mana, emosi juga bisa merusak. Tapi masih ada pilihan ketiga, seperti energi air yang bisa diubah menjadi tenaga listrik, energi emosi juga bisa diubah menjadi “bahan bakar” kebahagiaan. Tapi untuk bisa mengubah air menjadi energi, perlu dipahami dulu karakter air bukan?

Berdasarkan analogi air di atas, ajaran masyarakat “kendalikan emosimu,” itu seperti meminta kita untuk membendung air bah. Sebaliknya, saran “lampiaskan emosimu” seperti membiarkan saja air bah meluap ke mana-mana. Tinggal pilihan ketiga menyalurkan energi kreatif dari emosi. Bagaimana caranya? menurut saya emosi hanya bisa disalurkan menjadi energi positif dalam hidup jika kita memahami fungsi emosi secara tepat.

Anda bisa menggunakan emosi sebagai senjata, bisa juga sebagai alat kendali. Tetapi masih ada fungsi ketiga. Menurut saya fungsi emosi itu bukan terutama sebagai alat kendali atau senjata tetapi sebagai peringatan dini. Seperti juga pusing kepala, badan panas dingin, perut melilit-lilit, adalah peringatan dini tentang adanya sesuatu yang tidak beres dalam kesehatan kita, emosi juga befungsi sebagai peringatan dini, bahwa mungkin ada yang salah dalam cara berpikir kita.

Emosi adalah undangan untuk menengok ke dalam, memeriksa ulang apa yang kita yakini, sarana untuk mengenali diri kita, untuk tumbuh, dan berkembang. Dengan “mendengarkan” emosi kita dan menengok kedalam kita bisa menggunakan kesedihan untuk mengahiri kesedihan, menggunakan kebencian untuk mengakhiri kebencian, menggunakan dendam untuk mengahiri dendam, dengan kata lain menggunakan penderitaan untuk mengahiri penderitaan. Persis seperti air yang bisa diubah menjadi energi listrik jika kita memahami karakter air, emosi juga bisa menjadi “bahan bakar” kebahagiaan kita jika kita tahu fungsi emosi.

Tentu saja tidak semua emosi harus kita pikirkan dalam-dalam, seperti juga kita tidak harus pergi ke internis setiap kali kita pusing. Mungkin cukup minum paramex. Tetapi kalau pusing itu sudah menahun, dan tidak juga pergi dengan minum paramex. Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk bertanya apa ada yang salah dalam tubuh kita. Mungkin sudah saatnya untuk general check-up.

Demikian juga kalau kita jengkel atau marah ringan, mungkin cukup rekreasi untuk meredakannya. Tetapi kalau ada emosi yang dalam, terus menerus, dan benar-benar menghabiskan energi kita, mungkin itu saatnya untuk bertanya apakah ada yang salah dalam cara berpikir kita. Saatnya mencoba melihat ke dalam dan memeriksa ulang cara berpikir kita (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar