Kamis, 28 Januari 2010

"Mendengarkan" Emosi

Ketika kita sedang jatuh cinta, puas dengan hasil pekerjaan kita, menemukan sahabat sejati, kita melihat setiap orang dengan mata yang baru. Kita menjadi murah hati, penuh maaf, dan baik hati, meskipun sebelumnya mungkin kita keras dan jahat. Otomatis orang lain pun mulai bereaksi kepada kita dengan murah hati. Tanpa kita sadari, tiba-tiba kita merasa berada berada di dunia yang penuh cinta. Padahal dunia itu kita sendiri yang menciptakan.

Sebaliknya, ingatkah saat-saat ketika kita sedang bad mood, stressed, banyak menghadapi masalah. Kita menjadi gampang marah, sinis, dan penuh prasangka. Otomatis setiap orang bereaksi negatif dan kitapun terlempar dalam dunia yang penuh permusuhan. Dunia itu diciptakan oleh pikiran dan emosi kita sendiri.

Lantas bagaimana caranya menciptakan dunia kecil anda sendiri yang bahagia, penuh cinta dan damai? Menurut psikologi, menekan (represi) dan/atau mengabaikan emosi (denial) justru mengurangi kesehatan jiwa kita. Jadi menekan dan mengabaikan emosi bukan cara yang efektif, bahkan bisa menyebabkan neurosis. Adakah pilihan lain? Saya menawarkan suatu seni yang mungkin perlu dipelajari, dilatih dan dijadikan kebiasaan. Suatu seni yang sederhana dan indah. Tapi saya harus jujur. Mempelajari seni yang indah ini seringkali sangat melelahkan dan menyakitkan, tetapi menurut yang sudah menerapkan, seni ini menyakitkan namun membebaskan. Seni ini disebut SENI MENDENGARKAN EMOSI.

Begini cara melakukannya, setiap kali kita terganggu, jengkel atau marah pada seseorang. Berarti ada sesuatu yang mendesak-desak untuk dilihat. Apa yang perlu dilihat? Pendapat umum mengatakan “cari kesalahan orang yang menjengkelkan itu”. Mungkin memang dia punya banyak kesalahan, tetapi saya ingin mencoba sesuatu yang lain. Saya ingin menunda barang sejenak saja untuk mencoba “seni mendengarkan emosi” ini.

Untuk permulaan, bagaimana seandainya pertanyaannya sedikit diganti. Pertanyaannya bukanlah “APA KESALAHAN DIA?” tetapi “APA YANG DIKATAKAN KEJENGKELAN INI TENTANG DIRI SAYA?”. Loh koq masih mencari penyebab kejengkelan? Bukankah sudah jelas, nyata, dan gamblang bahwa penyebab kejengkelan ini adalah orang yang menjengkelkan itu. Tunggu dulu, ada dua pribadi yang terlibat disini, “saya” yang menurut saya dijengkelkan, dan “dia” yang menurut saya telah menjengkelkan saya. Memang mungkin dia adalah penyebab kejengkelan saya, namun apakah tidak ada kemungkin penyebab kejengkelan itu sebetulnya ada dari dalam diri kita sendiri. Mari kita lihat kemungkinan2 itu.

Pertama tama, tidak tertutup kemungkinan, kita jengkel karena sifat orang yang kita benci itu sebetulnya ada dalam diri kita, tetapi kita menekannya dan secara tidak sadar memproyeksikannya kepada orang tersebut”. Dalam ilmu psikologi ini disebut mekanisme pertahanan ego melalui proyeksi (http://en.wikipedia.org/wiki/Psychological_projection). Misalnya, dahulu kita pernah menyadari sifat buruk yang ada dalam diri kita, namun berat dan memalukan bagi kita untuk mengakuinya oleh karena itu kita tekan ke alam bawah sadar dan secara tidak kita sadari sekarang kita proyeksikan ke orang yang kita benci itu.

Ketika saya menerapkan cara ini, langsung saya menolak untuk meneruskan, karena saya takut bahwa memang benar di dalam diri saya sebetulnya ada sifat jelek orang yang saya benci itu. Di lain pihak ada juga suara yang mendorong untuk meneruskan “seni mendengarkan emosi” ini, siapa tau kejengkelan ini justru membawa saya pada penemuan diri? Siapa tau penemuan diri itu membawa saya ke arah yang lebih baik?

Kemungkinan lain, bisa jadi kita jengkel pada seseorang karena kata-kata atau tindakannya menunjuk pada sesuatu dalam diri kita yang tidak ingin kita lihat. (http://en.wikipedia.org/wiki/Denial) Lah ... saya saja tidak mau melihat dan berusaha menutup borok yang bau dan menjijikkan ini, koq dia berani-beraninya membeberkannya secara telak-telak di depan saya? Pasti reaksi saya marah. Apa saja yang tidak ingin kita lihat?, kalau mau jujur, mungkin ada ratusan hal yang tidak ingin kita lihat lagi dan berusaha kita hapus dari ingatan kita (represi): kegagalan kita, sifat buruk kita, kegagalan orang yang kita cintai, sifat buruk orang yang kita cinta, keyakinan kita yang tebukti secara nyata salah dan masih panjang litani hal-hal yang tidak ingin kita lihat.

Tetapi fakta bahwa kita tidak ingin melihatnya, berusaha menguburkannya, berarti apa yang dikatakan orang yang kita benci itu kemungkinan besar mengandung kebenaran walaupun mungkin tidak sepenuhnya benar. Jika dia menunjukkan borok, dan borok itu memang benar-benar borok sampai kita sendiri tidak ingin melihatnya, logikanya ya borok itu perlu disembuhkan, sebelum menggerogoti jiwa kita lebih jauh bukan? Nah ... siapa tahu orang tersebut justru merupakan sarana yang memaksa kita untuk melihat secara serius borok kita. Siapa tahu kata-kata dia begitu menusuk sehingga kita tidak punya pilihan lain selain harus melihat apa yang tidak ingin kita lihat itu.

Oh ya ... perlu saya ingatkan lagi, ini baru kemungkinan-kemungkinan, belum tentu kemungkinan itu benar, tapi belum tentu juga kemungkinan itu salah. Mari kita lanjutkan ke kemungkinan ketiga. Menurut saya, kemungkinan ketiga ini sedikit lebih jelas, “kita jengkel terhadap seseorang karena tindakan dia atau cara hidup dia tidak sesuai dengan harapan-harapan kita.” Misalnya, seseorang telah terprogram (terbentuk oleh sejarah/pendidikan/trauma dsb) untuk sangat memperhatikan kebersihan, tentu sangat jengkel kalau kita masuk kamarnya tanpa melepas sandal. Seseorang yang terprogram untuk mempunya ideal tertentu tentang seorang ibu, tentu marah ketika ideal itu tidak terpenuhi.

Apakah memang kita berhak menuntut orang lain untuk hidup dan bertindak sesuai dengan harapan kita? Ada dua kemungkinan di sini:

  • Dugaan saya, yang sering terjadi adalah kita memang TIDAK BERHAK menuntut orang lain untuk hidup sesuai dengan harapan kita, bahkan kadang sedikit berlebihan jika kita menuntut orang lain dengan ukuran dan norma yang kita yakini atau yang ditanamkan orang tua kita. Apalagi kalau kita menuntut seseorang untuk hidup dan bertindak agar sekedar cocok dengan selera kita.
  • Tetapi bagaiman jika dia bertindak kejam dan tidak adil? Mungkin dalam kasus ini kita memang berhak menuntut agar dia mau bertindak sesuai dengan harapan kita, bahkan bisa jadi secara moral kita memang wajib untuk mencegah kejahatan dan ketidak adilan itu. Tetapi, bila ingin mengubah atau menghentikan perilaku orang ini bukankah akan lebih efektif jika kita tidak jengkel. Bukankah kejengkelan hanya mengeruhkan persepsi, membuat kita tidak bisa obyektif, dan membuat tindakan kita tidak efektif. Setiap orang tahu bila seorang atlit atau pesilat kehilangan penguasaan dirinya, kualitas permainannya menurun dan menjadi tidak terkoordinasi karena nafsu dan amarah. Mungkin memang perlu untuk tegas, tetapi tegas tidak identik dengan jengkel, marah, atau emosi. Mungkin saja ekspresi marah adalah cara paling efektif untuk mencegah hal tersebut. Point saya adalah: marah di sini bukan lagi sebagai reaksi refleks, tetapi sebagai pilihan sadar bahwa itu satu-satunya cara paling efektif untuk mencegah kejahatan lebih lanjut. Anda hanya bisa melakukan itu hanya jika anda sadar sepenuhnya apa penyebab kemarahan anda dulu.

Berikut adalah sebuah kebenaran yang perlu kita pertimbangkan: latar belakang, pengalaman hidup, ketidaksadaran, kurangnya informasi, informasi yang salah dapat mempengaruhi tingkah laku orang itu. Dikatakan bahwa memahami semua berarti mengampuni semua. Bila kita sungguh-sungguh memahami orang ini, kita kan melihatnya sebagai “orang lumpuh” atau ”orang yang terbutakan”dan karenanya tidak pantas disalahkan. Dengan demikian, kejengkelan akan lenyap dengan sendirinya. Selanjutnya kita akan memperlakukannya dengan cinta. lalu dia akan memperlakukan kita dengan cinta. Siapa tahu, dengan demikian justru orang tersebut akan berubah?

Saya ingatkan sekali lagi, saya hanya menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang menurut saya masuk akal. Sudah saya ingatkan sebelumnya bahwa ”seni mendengarkan emosi” ini ongkosnya mahal, bisa sangat menyakitkan, tapi bukankah ada adagium ”tidak ada yang gratis di dunia ini”. Namun ini keyakinan dan intuisi saya sendiri (yang harus anda uji sendiri kebenarannya): walaupun menyakitkan, namun buah yang dihasilkan ”seni mendengarkan emosi” juga sangat manis yaitu ”kebebasan batin” persis seperti adagium yang dikenal di dunia finansial ”high risk, high return”. Resikonya: sangat menyakitkan untuk mendengarkan emosi, melihat kedalam, melihat borok kita sendiri. Imbal hasilnya ”kebebasan batin”.

Katanya, puncak dari kebebasan batin itu adalah ketika seseorang mampu berterima kasih kepada orang yang dibenci karena dia mengantar sesorang pada penemuan diri. Masuk akal bukan jika kita berterimakasih pada orang yang membantu kita menemukan diri? Sayangnya yang masuk akal dan nyata kadang justru sangat sulit untuk diterima, karena menerima realitas apa adanya itu ongkos dan konsekwensinya berat. Kita sering kali menghindari ongkos dan resiko. Lebih ringan untuk menghindar dari realitas dan melimpahkan kesalahan pada orang lain, daripada meluangkan waktu untuk melihat ke dalam, ”mendengarkan emosi kita”, dan mengambil tanggung jawab sepenuhnya atas emosi kita.