Jumat, 29 Juni 2012

Dirgahayu WO Baratha

sang saya dalu araras, abyor lintang kumedhap, tis-tis sonya tengah wengi, lumrang gandaning puspita

Waktu masih SMP, saya diwajibkan oleh almarhum ayah saya, yang pernah menjadi pemain wayang orang juga, untuk belajar tari jawa. Mulai dari Gatutkaca gandrung, Gambir anom, Minak Jinggo Dayun, dan beberapa lagi yang saya lupa.

Sayapun sempat gebyakan (dipentaskan), membawakan tari Gatutkaca Gandrung dengan kumis palsu tebal yang melintang di bibir. Gebyakannya di salah satu gedung wayang orang di Surabaya, yang letaknya di salah satu gang kecil di Pande Giling. Saya rasa gedung wayang orang itu sudah punah ditelan jaman.

Kenangan manis itu masih terbawa terus sampai sekarang dan nonton wayang di Bharata Kalilio Senen sudah menjadi ritual menyenangkan hampir tiap malem minggu, terutama kl lakonnya bagus. Saya selalu dianter sopir, istrinya, dan anaknya si Rizky. Saya nonton wayang, sopir dan keluarga pesiar nonton air mancur menari di monas, dapet lemburan pula. Everybody happy.

Ada dua jenis lakon yang dipentaskan dalam wayang: (i) lakon klasik yang diambil dari Mahabartha atau Ramayana, misalnya Gugurnya Abimanyu, (ii) lakon carangan, cerita hasil pengembangan cerita klasik, misalnya Petruk Dadi Ratu. Memang di tengah dunia Chronocracy ini, waktu seakan berhenti di gedung Bharata, di Jakarta pusat yang tak pernah tidur. Namun saya menikmati sekali waktu yang "berhenti" tersebut.



Nonton wayang di Bharata itu seru dan berbeda sekali dengan konsep nonton konser di barat yang harus resmi, sopan, dan penuh aturan. Nonton wayang tidak lengkap kalau tidak ada jeritan anak kecil, suit-suit, tepuk tangan dan celetukan-celetukan. Yang lebih seru lagi, kita bisa makan di tengah-tengah pertunjukan. Selalu ada yang beredar menawarkan indomie, ketoprak, nasi goreng, merakyat dan gayeng sekali. Tapi bisa juga memilih makan di luar sebelum pertunjukkan dimulai.

Kerinduan untuk belajar menari jawa lagi itu masih terus membara di diri saya. Kemarin saya sudah ditawari oleh pedagang rokok yang merangkap penjaga TK dekat rumah untuk menggunakan aula TK tesebut di hari minggu untuk belajar nari. Sekarang tinggal mencari guru privat. Kalau itu terlaksana, puaslah hidup saya. Terima kasih juga tak henti saya ucapkan ke almarhum ayah saya yang memperkanalkan saya pada dunia yang indah ini. :D

Meruya, June 2009






Kamis, 28 Januari 2010

"Mendengarkan" Emosi

Ketika kita sedang jatuh cinta, puas dengan hasil pekerjaan kita, menemukan sahabat sejati, kita melihat setiap orang dengan mata yang baru. Kita menjadi murah hati, penuh maaf, dan baik hati, meskipun sebelumnya mungkin kita keras dan jahat. Otomatis orang lain pun mulai bereaksi kepada kita dengan murah hati. Tanpa kita sadari, tiba-tiba kita merasa berada berada di dunia yang penuh cinta. Padahal dunia itu kita sendiri yang menciptakan.

Sebaliknya, ingatkah saat-saat ketika kita sedang bad mood, stressed, banyak menghadapi masalah. Kita menjadi gampang marah, sinis, dan penuh prasangka. Otomatis setiap orang bereaksi negatif dan kitapun terlempar dalam dunia yang penuh permusuhan. Dunia itu diciptakan oleh pikiran dan emosi kita sendiri.

Lantas bagaimana caranya menciptakan dunia kecil anda sendiri yang bahagia, penuh cinta dan damai? Menurut psikologi, menekan (represi) dan/atau mengabaikan emosi (denial) justru mengurangi kesehatan jiwa kita. Jadi menekan dan mengabaikan emosi bukan cara yang efektif, bahkan bisa menyebabkan neurosis. Adakah pilihan lain? Saya menawarkan suatu seni yang mungkin perlu dipelajari, dilatih dan dijadikan kebiasaan. Suatu seni yang sederhana dan indah. Tapi saya harus jujur. Mempelajari seni yang indah ini seringkali sangat melelahkan dan menyakitkan, tetapi menurut yang sudah menerapkan, seni ini menyakitkan namun membebaskan. Seni ini disebut SENI MENDENGARKAN EMOSI.

Begini cara melakukannya, setiap kali kita terganggu, jengkel atau marah pada seseorang. Berarti ada sesuatu yang mendesak-desak untuk dilihat. Apa yang perlu dilihat? Pendapat umum mengatakan “cari kesalahan orang yang menjengkelkan itu”. Mungkin memang dia punya banyak kesalahan, tetapi saya ingin mencoba sesuatu yang lain. Saya ingin menunda barang sejenak saja untuk mencoba “seni mendengarkan emosi” ini.

Untuk permulaan, bagaimana seandainya pertanyaannya sedikit diganti. Pertanyaannya bukanlah “APA KESALAHAN DIA?” tetapi “APA YANG DIKATAKAN KEJENGKELAN INI TENTANG DIRI SAYA?”. Loh koq masih mencari penyebab kejengkelan? Bukankah sudah jelas, nyata, dan gamblang bahwa penyebab kejengkelan ini adalah orang yang menjengkelkan itu. Tunggu dulu, ada dua pribadi yang terlibat disini, “saya” yang menurut saya dijengkelkan, dan “dia” yang menurut saya telah menjengkelkan saya. Memang mungkin dia adalah penyebab kejengkelan saya, namun apakah tidak ada kemungkin penyebab kejengkelan itu sebetulnya ada dari dalam diri kita sendiri. Mari kita lihat kemungkinan2 itu.

Pertama tama, tidak tertutup kemungkinan, kita jengkel karena sifat orang yang kita benci itu sebetulnya ada dalam diri kita, tetapi kita menekannya dan secara tidak sadar memproyeksikannya kepada orang tersebut”. Dalam ilmu psikologi ini disebut mekanisme pertahanan ego melalui proyeksi (http://en.wikipedia.org/wiki/Psychological_projection). Misalnya, dahulu kita pernah menyadari sifat buruk yang ada dalam diri kita, namun berat dan memalukan bagi kita untuk mengakuinya oleh karena itu kita tekan ke alam bawah sadar dan secara tidak kita sadari sekarang kita proyeksikan ke orang yang kita benci itu.

Ketika saya menerapkan cara ini, langsung saya menolak untuk meneruskan, karena saya takut bahwa memang benar di dalam diri saya sebetulnya ada sifat jelek orang yang saya benci itu. Di lain pihak ada juga suara yang mendorong untuk meneruskan “seni mendengarkan emosi” ini, siapa tau kejengkelan ini justru membawa saya pada penemuan diri? Siapa tau penemuan diri itu membawa saya ke arah yang lebih baik?

Kemungkinan lain, bisa jadi kita jengkel pada seseorang karena kata-kata atau tindakannya menunjuk pada sesuatu dalam diri kita yang tidak ingin kita lihat. (http://en.wikipedia.org/wiki/Denial) Lah ... saya saja tidak mau melihat dan berusaha menutup borok yang bau dan menjijikkan ini, koq dia berani-beraninya membeberkannya secara telak-telak di depan saya? Pasti reaksi saya marah. Apa saja yang tidak ingin kita lihat?, kalau mau jujur, mungkin ada ratusan hal yang tidak ingin kita lihat lagi dan berusaha kita hapus dari ingatan kita (represi): kegagalan kita, sifat buruk kita, kegagalan orang yang kita cintai, sifat buruk orang yang kita cinta, keyakinan kita yang tebukti secara nyata salah dan masih panjang litani hal-hal yang tidak ingin kita lihat.

Tetapi fakta bahwa kita tidak ingin melihatnya, berusaha menguburkannya, berarti apa yang dikatakan orang yang kita benci itu kemungkinan besar mengandung kebenaran walaupun mungkin tidak sepenuhnya benar. Jika dia menunjukkan borok, dan borok itu memang benar-benar borok sampai kita sendiri tidak ingin melihatnya, logikanya ya borok itu perlu disembuhkan, sebelum menggerogoti jiwa kita lebih jauh bukan? Nah ... siapa tahu orang tersebut justru merupakan sarana yang memaksa kita untuk melihat secara serius borok kita. Siapa tahu kata-kata dia begitu menusuk sehingga kita tidak punya pilihan lain selain harus melihat apa yang tidak ingin kita lihat itu.

Oh ya ... perlu saya ingatkan lagi, ini baru kemungkinan-kemungkinan, belum tentu kemungkinan itu benar, tapi belum tentu juga kemungkinan itu salah. Mari kita lanjutkan ke kemungkinan ketiga. Menurut saya, kemungkinan ketiga ini sedikit lebih jelas, “kita jengkel terhadap seseorang karena tindakan dia atau cara hidup dia tidak sesuai dengan harapan-harapan kita.” Misalnya, seseorang telah terprogram (terbentuk oleh sejarah/pendidikan/trauma dsb) untuk sangat memperhatikan kebersihan, tentu sangat jengkel kalau kita masuk kamarnya tanpa melepas sandal. Seseorang yang terprogram untuk mempunya ideal tertentu tentang seorang ibu, tentu marah ketika ideal itu tidak terpenuhi.

Apakah memang kita berhak menuntut orang lain untuk hidup dan bertindak sesuai dengan harapan kita? Ada dua kemungkinan di sini:

  • Dugaan saya, yang sering terjadi adalah kita memang TIDAK BERHAK menuntut orang lain untuk hidup sesuai dengan harapan kita, bahkan kadang sedikit berlebihan jika kita menuntut orang lain dengan ukuran dan norma yang kita yakini atau yang ditanamkan orang tua kita. Apalagi kalau kita menuntut seseorang untuk hidup dan bertindak agar sekedar cocok dengan selera kita.
  • Tetapi bagaiman jika dia bertindak kejam dan tidak adil? Mungkin dalam kasus ini kita memang berhak menuntut agar dia mau bertindak sesuai dengan harapan kita, bahkan bisa jadi secara moral kita memang wajib untuk mencegah kejahatan dan ketidak adilan itu. Tetapi, bila ingin mengubah atau menghentikan perilaku orang ini bukankah akan lebih efektif jika kita tidak jengkel. Bukankah kejengkelan hanya mengeruhkan persepsi, membuat kita tidak bisa obyektif, dan membuat tindakan kita tidak efektif. Setiap orang tahu bila seorang atlit atau pesilat kehilangan penguasaan dirinya, kualitas permainannya menurun dan menjadi tidak terkoordinasi karena nafsu dan amarah. Mungkin memang perlu untuk tegas, tetapi tegas tidak identik dengan jengkel, marah, atau emosi. Mungkin saja ekspresi marah adalah cara paling efektif untuk mencegah hal tersebut. Point saya adalah: marah di sini bukan lagi sebagai reaksi refleks, tetapi sebagai pilihan sadar bahwa itu satu-satunya cara paling efektif untuk mencegah kejahatan lebih lanjut. Anda hanya bisa melakukan itu hanya jika anda sadar sepenuhnya apa penyebab kemarahan anda dulu.

Berikut adalah sebuah kebenaran yang perlu kita pertimbangkan: latar belakang, pengalaman hidup, ketidaksadaran, kurangnya informasi, informasi yang salah dapat mempengaruhi tingkah laku orang itu. Dikatakan bahwa memahami semua berarti mengampuni semua. Bila kita sungguh-sungguh memahami orang ini, kita kan melihatnya sebagai “orang lumpuh” atau ”orang yang terbutakan”dan karenanya tidak pantas disalahkan. Dengan demikian, kejengkelan akan lenyap dengan sendirinya. Selanjutnya kita akan memperlakukannya dengan cinta. lalu dia akan memperlakukan kita dengan cinta. Siapa tahu, dengan demikian justru orang tersebut akan berubah?

Saya ingatkan sekali lagi, saya hanya menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang menurut saya masuk akal. Sudah saya ingatkan sebelumnya bahwa ”seni mendengarkan emosi” ini ongkosnya mahal, bisa sangat menyakitkan, tapi bukankah ada adagium ”tidak ada yang gratis di dunia ini”. Namun ini keyakinan dan intuisi saya sendiri (yang harus anda uji sendiri kebenarannya): walaupun menyakitkan, namun buah yang dihasilkan ”seni mendengarkan emosi” juga sangat manis yaitu ”kebebasan batin” persis seperti adagium yang dikenal di dunia finansial ”high risk, high return”. Resikonya: sangat menyakitkan untuk mendengarkan emosi, melihat kedalam, melihat borok kita sendiri. Imbal hasilnya ”kebebasan batin”.

Katanya, puncak dari kebebasan batin itu adalah ketika seseorang mampu berterima kasih kepada orang yang dibenci karena dia mengantar sesorang pada penemuan diri. Masuk akal bukan jika kita berterimakasih pada orang yang membantu kita menemukan diri? Sayangnya yang masuk akal dan nyata kadang justru sangat sulit untuk diterima, karena menerima realitas apa adanya itu ongkos dan konsekwensinya berat. Kita sering kali menghindari ongkos dan resiko. Lebih ringan untuk menghindar dari realitas dan melimpahkan kesalahan pada orang lain, daripada meluangkan waktu untuk melihat ke dalam, ”mendengarkan emosi kita”, dan mengambil tanggung jawab sepenuhnya atas emosi kita.

Sabtu, 18 April 2009

Ketika anda merasa telah banyak berkorban

Ada pepatah yang mengatakan ”ketika anda jatuh cinta pada seseorang, maka anda menganggap di dunia ini hanya ada satu orang, yang lainnya kost”. Dari pepatah sederhana ini dapat ditarik kesimpulan mengenai apa yang terpenting dalam hidup seseorang. Karena orang yang anda cintai itu adalah hal terpenting dalam hidup anda maka anda bersedia melakukan apa saja demi dia, anda sama sekali tidak merasa berkorban.

Apakah anda merasa berkorban ketika anda harus membuang Rp. 5.000. untuk mendapatkan Rp. 5.000.000? Tentu tidak bukan?, Rp. 5.000.000 jauh lebih bernilai dibanding Rp. 5.000, karena itu anda tidak ragu-ragu melepaskan Rp. 5000 untuk mendapat Rp. 5.000.000.

Ada suatu ilustrasi, tentang seorang wanita karier yang meninggalkan kariernya yang sedang menanjak pesat demi merawat suaminya yang terserang kanker. Kemudian temannya berkata ”wah pengorbanan kamu hebat sekali”. Wanita karier itu marah dan tersinggung. Bagi wanita karier yang sangat mencintai suaminya itu, suaminya jauh lebih bernilai dibanding kariernya, karena itu dia tidak ragu-ragu meninggalkan kariernya demi suaminya. Jika wanita karier tersebut senang dengan komentar temannya berarti dia menyetujui bahwa kariernya jauh lebih penting dibanding suaminya, dan dia akan merasa berkorban meninggalkan kariernya untuk merawat suaminya.

Lantas mengapa anda merasa berkorban? ini salah satu kemungkinan: di satu pihak apa yang bernilai telah berubah dalam hidup anda, misalnya orang yang tadinya sangat penting di mata anda, sekarang tidak lagi penting. Namun anda ”terjebak” dan ”terpaksa” untuk harus tetap menempatkan dia dalam posisi penting.

Jadi perasaan berkorban mengatakan dua hal tentang diri anda:
  • Apa yang menurut anda bernilai dalam hidup anda telah berubah. Hal hal atau orang-orang yang dahulu anda anggap bernilai, sekarang tidak atau telah berkurang nilainya dibanding hal-hal atau orang-orang lain.
  • Anda merasa tidak bebas memilih, atau ”terjebak” dalam situasi yang membuat anda tidak bebas memilih. Anda terpaksa atau dipaksa untuk membuang/melepaskan seuatu yang dimata anda bernilai untuk sesuatu yang kurang bernilai. Perasaan terpaksa ini anda nyatakan dalam bahasa ”pengorbanan”
Kembali ke contoh orang yang jatuh cinta di atas. Mungkin setelah beberapa tahun, kekasihnya tersebut tidak lagi seberapa bernilai dibanding ketika baru jatuh cinta. Kariernya mungkin dianggap lebih bernilai di banding pacarnya. Dia mulai merasa berkorban ketika harus meninggalkan pekerjaannya demi menemani pacarnya. Mungkin yang tadinya anda menganggap “yang lain kost” sekarang justru anda menganggap pacar anda adalah “penumpang gelap” yang menghalangi anda untuk mencapai hal-hal yang anda anggap penting. Tidak heran dan saya temukan berkali-kali ketika sesorang mulai sering mengatakan betapa dia telah berkorban banyak bagi pacarnya biasanya tidak lama kemudian mereka putus.

Jadi ketika anda merasa berkorban, itu saatnya untuk menengok ke dalam. Mengevaluasi lagi hal-hal atau orang-orang yang anda anggap bernilai. Saatnya lagi untuk merenungkan apa yang menghalangi kebebasan anda, mungkin kebanggaan anda? mungkin rasa malu?, mungkin perasaan kewajiban?

Setelah membaca ini, setujukah anda bahwa dalam cinta tidak ada pengorbanan? Jika anda menolak, mungkin anda perlu mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan ini:

  • Anda tidak menyadari bahwa apa yang bernilai dalam hidup anda telah berubah. Kesadaran anda masih kesadaran masa lalu, namun realitas telah berubah.
  • Anda menyadari bahwa apa yang bernilai dalam hidup anda telah berubah, namun anda malu mengakuinya.
  • Anda menyadari bahwa apa yang bernilai dalam hidup anda telah berubah, namun anda takut mengakuinya. Anda takut untuk menerima konsekwensinya. Misalnya: “apa kata orang jika orang tahu bahwa pacarku tidak lagi bernilai di mataku”
  • Tekanan sekitar begitu kuat sehingga anda tidak berani untuk memilih hal yang paling bernilai dalam hidup anda.
Saya hanya menawarkan kemungkinan-kemungkinan, mungkin anda menemukan kemungkinan lain.

***

Pertanyaan berikutnya, bagaimana perasaan anda ketika seseorang berkata bahwa dia telah banyak berkorban bagi anda?

Kemungkinan pertama yang tidak terlalu serius, orang tersebut sebetulnya ”berteriak” bahwa dia ingin lebih diperhatikan, ”berteriak” bahwa apa yang telah dilakukannya untuk kita kurang dihargai, secara singkat, dia ingin dianggap penting. Namun orang tersebut malu mengakui keinginannya itu, karena itu ia mengatakannya dalam bahasa ”pengorbanan”. Atau anda telah meperlakukan orang tesebut secara tidak adil. Sering kali orang menginginkan sesuatu namun mengatakannya dengan cara lain. Ini saatnya bagi anda untuk menengok kedalam. Mengevaluasi lagi, apakah dia sungguh-sungguh bernilai di mata anda. Apakah ada hak-hak dia yang telah anda langgar? Mungkin anda sering mengatakan bahwa dia penting di mata anda namun kata-kata anda tidak tercermin dalam tindakan anda.

Kemungkinan kedua yang lebih serius, kalau dia terus menerus mengatakan bahwa dia telah banyak berkorban bagi anda. Mungkin anda akan marah dan tersinggung, karena berarti secara tidak langsung seseorang itu telah mengatakan: ”sebetulnya kamu tidak terlalu penting di mataku, ada hal-hal lain yang lebih penting bagiku, tetapi aku ”terpaksa” berkorban demi kamu, kamu menghalangi kebebasanku untuk mengejar hal-hal yang lebih penting tersebut”
.
Well ... suatu hal yang menyakitkan untuk mengetahui bahwa sebetulnya anda tidak penting-penting amat di mata seseorang, terlebih jika seseorang itu orang yang kita cintai, yang telah kita perhatikan bertahun-tahun. Tapi mungkin anda perlu bertanya pada diri sendiri apakah anda berhak menuntut orang tersebut untuk menganggap diri anda penting? Apakah seseorang tidak bebas menentukan apa yang bernilai dan tidak bernilai bagi dirinya, termasuk penilaian orang tersebut tentang diri anda? Apakah tidak lebih menyakitkan untuk mengetahui bahwa anda dianggap penting oleh seseorang dengan rasa terpaksa, dengan rasa berkorban? Mungkin anda perlu bertanya kepada diri sendiri ”inikah saatnya bagi anda untuk ”membebaskan” dia dari belenggu keterpaksaan, saatnya untuk membebaskan dia untuk menentukan apa yang bernilai bagi dirinya sendiri?”. Pilihan ada di tangan anda.

Renungkan kemungkinan ini, semakin sering dan semakin besar rasa pengorbanan anda, sebetulnya semakin sedikit cinta sejati dalam diri anda. Anda menganggap diri anda begitu penting sehingga setiap kali anda melakukan sesuatu demi orang lain, menyisihkan waktu dan menyingsingkan lengan bagi orang lain, anda menganggap itu sebagai pengorbanan. Karena dalam cinta dan kebebasan tidak ada pengorbanan.

Rabu, 15 April 2009

Citra Diri

Dari pengalaman gue bergaul, gue nemuin berbagai cara orang-orang membentuk citra diri dan membangun citra diri.
  • Type dengan motto: Saya merasa hebat sejauh orang lain menganggap saya hebat. Menunjukkan hal-hal positif yang ada dalam diri mereka, pada saat yang sama menyembunyikan hal negatif. Jaim habis-habisan, panik kalo kelemahan mereka terbeberkan. Sebisa mungkin melakukan pemadaman kebakaran kalo citra mereka tercoreng. Ironisnya, dalam kasus ekstrim, type ini sering mengidap penyakit gede rasa. Mengira dirinya hebat di mata orang lain, padahal sebaliknya yang terjadi.
  • Type dengan motto: Saya merasa hebat, sejauh orang lain kalah hebat dari saya. Meninggikan diri dengan cara merendahkan orang lain. Mereka hanya merasa positif, kalau sekitarnya lebih negatif dari diri mereka. menyambut dengan sukacita kalo ada berita yang membeberkan sisi negatif orang lain.
  • Type dengan motto: Saya adalah saya, gak tergantung apa pandangan orang tentang saya. Lah wong yang paling mengenal diri saya ya saya sendiri. Nggak merasa perlu pamer, gak ada impuls merendahkan orang lain. label nggak begitu penting bagi mereka. instead of ngejudge mereka cenderung understanding.
***

Setelah gue pikir-pikir, gimana orang ngebentuk citra diri itu tergantung sejarah hidupnya dan gimana dia terbentuk. (ini topik lain yang bisa panjang bahasannya). Juga tergantung pada "MODAL" yang mereka miliki,
  • Type 1: "Modal" mereka ok ... pantes koq mereka bangga ama prestasinya, kalo dalam bahasa inggris they deserve the credits kalo bahasa jawa: sembada. Paling kalo udah berlebihan dan caranya kasar orang-orang cuma menggerutu: "halah ... gasah dipamerin kita juga dah pada tau koq"
  • Type 2: "Modal" mereka terbatas … sebetulnya mereka sadar sedikit hal positif yang bisa ditonjolkan dalam diri mereka, yang positif itupun biasa-biasa saja. satu-satunya cara untuk membuat hal biasa itu jadi menonjol ya dengan cara mengontraskan hal biasa tersebut dengan keburukan orang lain. Kadang kalo sulit menemukan keburukan orang lain, mereka make strategi "labeling" label yang netral direkayasa menjadi label negatif (stereotyping), atau memanfaatkan prasangka masyarakat terhadap label tertentu.
Di marketing dan politik, strategi ini bisa sukses juga. dalam politik kita kenal istilah black campaign, misalnya McCain lebih banyak menunjukkan keburukan Obama, ketimbang mengkampanyekan programnya sendiri. tapi kalo dalam personal relationship ... hmmmmmm

***

Q: Tapi ada juga tipe yang menunjukkan kesan negatif pada dirinya dan melihat orang lain jauh lebih hebat dari dia, sehingga menimbulkan efek "kasihan" sama orang tipe ini. Adanya cerita sedih mulu, selalu ngeliat dari sisi negatif. Gw lumayan banyak ketemu tipe orang seperti ini, ujung2nya mereka sering rugi2 sendiri deh

A: Memang dalam rangka mendapat acceptance/simpati/empati, bisa juga pake strategi mengiba-iba meminta belas kasihan.Tetapi, yype "menunjukkan kesan negatif pada dirinya" ini masih bisa dibagi dua:
  • Menunjukkan kesan negatif dengan cara mengiba-iba, biar dapet simpati dari orang lain. Moto mereka: saya merasa berarti ketika saya dikasihani orang lain
  • Menunjukkan kesan negatif supaya gak take life too seriously after all we are human ... apalagi kalo dalam situasi guyub mentertawakan kebodohan-kebodohan diri sendiri ...bisa seru dan kocak banget loh. Moto mereka: gue kadang-kadang stupid, so what?
***

Q: Ada juga yang merendahkan dirinya supaya ditinggikan oleh orang lain kan?

A: Merendahkan diri kan ngarepin dibantah ... biar dapet pujian berkali-kali. Merendahkan diri bisa juga jadi cara untuk menunjukkan bahwa standard yang dipuji lebih tinggi dari yang memuji: “prestasi lu hebat yak” ... dijawab: “ah biasa aja koq” ... ini bisa dianggap ekspresi kesombongan ... standard prestasi loe rendah banget sih ... biasa aja koq dibilang hebat.

Moto mereka: biar ditinggikan orang, kalau perlu pake cara merendahkan diri, pujian sekali gak cukup, mesti ditegesin. Saya merasa hebat sejauh orang lain mengira saya rendah hati (kontradiksi bukan?)

Contoh mendapat pujian berkali-kali dengan cara merendahkan diri

gue: kamu cute (pujian pertama)
dia: ah nggak koq, cakepan juga si X noh
gue: iiiiih nggak banget ... cakepan kamu tauk (pujian kedua)
dia: masa siiiiiiiih ...
gue: bener koq ... sueerrr ... cakepan kamu (pujian ketiga)

Gampang kan caranya supaya dipuji berkali-kali? Tapi kalau lawan bicaranya jail, strategi untuk mendapatkan pujian berkali-kali bisa gagal. Contohnya seperti ini:

gue: kamu cakep (dalam hati ... preeetttttt)
dia: ah nggak koq, cakepan juga si X noh
gue: uuuuummmmmmm ... iya juga ya ... sorry gue gak pake kacamata
dia: (sewot) koq setuju siiiiiiiiiiiiih????????

Aneh kan, biasanya orang senang kalau pendapatnya disetujui, tapi ini malah sewot ketika pendapatnya disetujui. Berarti ketika dia mengatakan “ah nggak koq, cakepan juga si X noh” sebetulnya dia ingin dibantah, dengan demikian mendapat pujian lagi,lagi dan lagi.

Selasa, 14 April 2009

Bertanggung Jawab Terhadap Emosi - 3

Masih belum yakin?, coba renungkan ini: jika semua orang bertanggung jawab terhadap emosinya sendiri, akankah anda dan dunia menjadi lebih baik? Apakah bertanggung jawab terhadap emosi dapat membantu anda mencapai tujuan hidup anda? Sebaliknya, apakah sikap tidak bertanggung jawab terhadap emosi akan menghalangi kita untuk mencapai tujuan hidup? Akhirnya, apakah memiliki karakter ”bertanggung jawab terhadap emosi diri sendiri” layak menjadi salah satu tujuan hidup itu sendiri, menjadi nilai utama yang melatari hubungan kita dengan sesama dan menjadi pertimbangan penting dalam mengambil pilihan-pilihan dalam hidup kita?

Mari kita ringkas diskusi dan penalaran di atas.

Pertama, karena emosi ANDA terutama ditentukan oleh pikiran dan keyakinan anda, dan karena ANDA sendiri yang memiliki KENDALI atas apa yang anda pikirkan dan anda yakini. Maka, tanggung jawab emosi ada dipundak anda sendiri.

Kedua, anda selalu mempunyai pilihan:

  • Pilihan 1: INGIN, BERHARAP DAN BERUSAHA DENGAN SEGALA CARA AGAR ORANG LAIN BERUBAH SESUAI DENGAN KEINGINAN ANDA. Dengan resiko kalau dia tidak mau berubah, kita akan terus sakit hati. Bahkan kehadirannya saja sudah cukup untuk mengganggu emosi kita. Kalau anda berkuasa dan ditakuti, anda bisa menggunakan emosi sebagai senjata dan alat untuk mengendalikan orang lain agar bertindak dan hidup sesuai keinginan anda. Tetapi resikonya, anda menjadi orang yang ditakuti, bukan orang yang dicintai.
  • Pilihan 2: MENYERAH DAN MENGUNDURKAN DIRI. Tidak mau berhubungan lagi dengan orang yang mengecewakan anda. Tidak mau bertemu dengannya lagi. Dengan resiko anda akan semakin terbiasa menyerah dan menutup diri, dunia anda akan semakin menyempit dari hari ke hari.
  • Pilihan 3: MENCOBA MENGUBAH KEYAKINAN ANDA TENTANG SITUASI YANG TERJADI. Di sini anda memanfaatkan emosi sebagai peringatan dini. Pilihan ini juga mengandung resiko karena untuk mengubah apa yang anda yakini, anda harus berani melihat kedalam yang kadang sangat menyakitkan. Anda diminta terbuka terhadap kemungkinan bahwa apa yang anda yakini selama ini ternyata salah. Ada kemungkinan anda harus melihat borok anda sendiri. Sesuai dengan tema blog ini: Assume Nothing, Question Everything, cek dan ricek lagi keyakinan, asumsi dan prasangka anda termasuk asumsi, prasangka dan keyakinan tentang diri anda sendiri dan musuh anda.

Saya hanya memberikan pilihan beserta resiko-resiko pilihan tersebut.

***

Saya akhiri renungan ini dengan cuplikan lagunya Anggun: In Your Mind

Its all in your mind,
In your mind...

I don't want to believe
And I don't want to live
By the excuses
Of your weakness

'Cause a woman should do
What she wants to do
There is no reason
For your shallow aggravation

Nothing wrong with this dress I wear
Nothing wrong with this smile I dare
Nothing wrong with my long black hair
I'ts all in your mind, in your mind

Nothing wrong with this legs you see
Nothing wrong with this lean body
And nothing wrong with the woman in me
Its' all in your mind, in your mind

There's still a chance
To change your mind
It's plain to see
From anywhere the only thing wrong
Is your irritating mind

Bertanggung Jawab Terhadap Emosi - 2

Dalam film The Devil Wear Prada ada satu episode yang mengilustrasikan soal tanggung jawab terhadap emosi ini juga. Secara singkat Andy, pemeran utama di film itu, mengeluh, mengeluh, mengeluh pada rekan kerjanya Nigel tentang bosnya, Miranda, yang tidak pernah menghargai pekerjaannya. Andy merasa kecewa karena ketika Andy berhasil melaksanakan tugasnya, Andy tidak mendapat penghargaan, tapi ketika gagal melaksanakan tugas Miranda, Miranda marah besar. Dialog lengkapnya seperti ini:

Andy Sachs: She hates me, Nigel.
Nigel: And that's my problem because... Oh, wait. No, it's not my problem.
(perhatikan di sini, kedengarannya Nigel dingin, tidak punya rasa simpati dan empati, tetapi sebetulnya Nigel sudah mulai memberi isyarat agar Andy bertanggung jawab terhadap emosinya sendiri)

Andy Sachs: I don't know what else I can do because if I do something right, it's unacknowledged. She doesn't even say thank you. But if I do something wrong, she is vicious.
(Andy masih berusaha mengalihkan tanggung jawab tentang keadaan emosinya kepada Miranda)

Nigel: So quit.
(Nigel menantang Andy dengan pilihan berat)

Andy Sachs: What?
Nigel: Quit.
Andy Sachs: Quit?
Nigel: I can get another girl to take your job in five minutes... one who really wants it.
(Nigel kembali menunjukkan realitas keras yang dihadapi Andy, bahwa sebetulnya Andy tidak terlalu penting bagi perusahaan)

Andy Sachs: No, I don't want to quit. That's not fair. But, I, you know, I'm just saying that I would just like a little credit... for the fact that I'm killing myself trying.
(Andy mulai melunak, namun masih mengelak, masih berusaha mengalihkan tanggung jawab emosinya kepada Miranda, dia masih berharap Miranda berubah)

Nigel: Andy, be serious. You are not trying. You are whining. What is it that you want me to say to you, huh? Do you want me to say, "Poor you. Miranda's picking on you. Poor you. Poor Andy"? Hmm? Wake up, six. She's just doing her job. Don't you know that you are working at the place that published some of the greatest artists of the century? Halston, Lagerfeld, de la Renta. And what they did, what they created was greater than art because you live your life in it. Well, not you, obviously, but some people. You think this is just a magazine, hmm? This is not just a magazine. This is a shining beacon of hope for... oh, I don't know... let's say a young boy growing up in Rhode Island with six brothers pretending to go to soccer practice when he was really going to sewing class and reading Runway under the covers at night with a flashlight. You have no idea how many legends have walked these halls. And what's worse, you don't care. Because this place, where so many people would die to work you only deign to work. And you want to know why she doesn't kiss you on the forehead and give you a gold star on your homework at the end of the day. Wake up, sweetheart.
(Di sini Nigel sacara terus terang berkata kepada Andy, bahwa yang dilakukan Andy tidak lebih dari sekedar mengeluh. Karena itu tidak layak mendapat simpati. Lantas Nigel menunjukkan bahwa sumber penderitaannya sebetulnya bukan ada pada Miranda, tetapi ada dalam diri Andy sendiri. Sebetulnya Andy tidak terlalu menghargai bidang kerja adi busana, itu yang menjelaskan mengapa Miranda tidak menghargai Andy)

Dalam film itu, berkat pencerahan Nigel, pikiran Andy terbuka, dia mulai bisa menghargai dunia adi busana. Pesan utama yang hendak saya sampaikan dari ilustrasi ini adalah, ketika keyakinan Andy berubah, maka emosi Andy terhadap Miranda-pun berubah. Andy bisa mengembangkan potensinya secara sepenuh-penuhnya sejak itu. Di akhir cerita, keyakinan Andy tentang dunia adi busana berubah lagi, dia keluar dari dunia adi busana, namun dia keluar dengan kesadaran penuh, bukan karena reaksi emosional, Andy keluar dengan hati yang bersih, tanpa dendam atau sakit hati. Bahkan tersirat pandangan belas kasih Andy terhadap Miranda di film tersebut.

***

Betapa seringnya kita menghadapi situasi yang sama seperti yang dihadapi Andy, di kantor, di keluarga, di lingkugan teman-teman dsb, kita berharap orang lain berubah. Ketika harapan kita tidak terpenuhi, kita tidak berhasil mendapatkan yang kita inginkan, kita kecewa. Mari kita belajar dari film tersebut. Apakah kita menghadapi pilihan yang sama seperti pilhan yang dihadapi Andy?:

Berkat bantuan Nigel, Andy berhasil, memahami realitas dan fokus pada pilihan-pilihan yang dihadapinya. Pilihan pertama berharap Miranda berubah dengan cepat jelas tidak realistis, seperti berharap loyang berubah menjadi emas. Pilihan kedua, mengundurkan diri merugikan bagi Andy, karena bekerja di perusahaan yang prestisius tersebut akan membuka banyak pintu di masa depan, jadi tinggal tersisa satu pilihan, pilihan ketiga, mengubah keyakinanya tentang situasi yang dihadapi. Itu pilihan Andy. Dengan berubahnya keyakinannya, keadaan emosinya juga berubah. Mengeluh pada dasarnya adalah ungkapan keinginan kita agar orang lain berubah, dan menyalahkan orang lain atas kekecewaan kita.

***

Renungan di atas menurut saya membawa tiga kabar baik yang akan membebaskan kita dari belenggu emosi.

  • Kabar baiknya adalah: tidak ada seorangpun yang bisa menentukan emosi anda
  • Kabar yang sungguh baik adalah: anda sebetulnya juga bukan penyebab emosi orang lain
  • Kabar yang sungguh-sungguh baik adalah: kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri jika kita mau mengubah keyakinan-keyakinan yang membuat kita emosi.

Mengapa sulit diterima?

Apakah sampai di sini anda masih menolak pernyataan di atas?, menolak bertanggung jawab terhadap emosi anda sendiri. Untuk itu saya hanya bisa bertanya, adakah penalaran yang salah dalam paparan di atas? Jika tidak ada kesalahan logika dalam pemaparan di atas, mengapa anda tetap menolak?

Tetapi pada saat yang sama, saya bisa mengerti mengapa anda menolak. Mengapa begitu mudah kita mengatakan, kamu membuat saya emosi. Mengapa sulit sekali untuk menerima pemikiran “bertanggung jawab terhadap emosi dan kebahagiaan kita sendiri?”

  • Kemungkinan pertama, beban hidup yang berat telah membuat kita tidak mampu untuk menerima bahwa emosi dan kebahagiaan adalah tanggung jawab kita sendiri. Bertanggung jawab terhadap emosi berarti kita harus menilai ulang keyakinan-keyakinan kita, merenung dan memikirkannya. Butuh waktu dan seringkali menyakitkan untuk melihat ke dalam diri sendiri. Mungkin juga ada ketakutan, kalau kita melihat kedalam kita akan berubah, dan perubahan seringkali menakutkan. Lebih ringan dan mudah untuk menggeser tanggung jawab itu ke orang lain.
  • Kemungkinan lain, kita sudah diajari, diprogram, diindoktrinasi untuk berpikir bahwa tanggung jawab hanya berlaku untuk TINDAKAN, tanggung jawab soal-soal duniawi seperti tanggung jawab dalam pekerjaan, dalam sekolah, masyarakat. Untuk soal emosi, aturannya lain. Tapi teliti lagi penalaran saya di atas, bukankah tanggung jawab juga berlaku utuk soal emosi?.
  • Kita sudah terlatih untuk tidak mempertanyakan lagi nilai-nilai yang menurut masyarakat benar. Sehingga tidak terlintas lagi dibenak kita bahwa cara berpikir kita membawa konsekwensi ketidakbahagiaan. Misalnya ajaran seperti ini: manusiawi kalau kita senang jika dipuji dan marah jika dihina, implisit dalam ajaran ini adalah kita menggeser tanggung jawab tentang keadaan emosi kita kepada orang lain. Orang lain yang menentukan kebahagiaan kita melalui pujian dan celaannya. Anda ingin tetap dengan keyakinan itu? Boleh-boleh saja, apa hak saya untuk melarang anda, saya hanya mau mengingatkan konsekwensinya. Anda senang menerima pujian? Terima konsekwensinya bahwa anda akan mudah terganggu oleh celaan. Itu satu paket. Pertimbangkan juga kemungkinan ini, pujian dan celaan dapat mempengaruhi kemampuan anda untuk menilai secara obyektif. Jika obyektifitas bukan nilai yang penting dalam hidup anda, logis jika anda memilih menikmati pujian dan jengkel terhadap celaan. Namun jika anda menilai obyektifitas adalah nilai yang penting, masuk akal juga bukan jika anda tidak menganggap terlalu serius pujian dan celaan?
  • Kemungkinan lain lagi, kita belajar dari pengalaman bahwa emosi yang diekspresikan adalah alat kendali yang sangat efektif untuk mengubah perilaku orang lain sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Kita belajar dari pengalaman: melalui ekspresi marah kita bisa membuat orang takut, ekspresi sedih untuk mendapat simpati, ekspresi senang dan pujian untuk mendorong orang lain. Sungguh alat kendali yang ampuh agar orang lain hidup sesuai dengan keinginan-keinginan kita. Ironisnya, kalau kita gagal mengubah orang lain melalui ekspresi emosi kita, gagal membuat orang lain takut dengan kemarahan kita, gagal membuat orang lain simpati dengan kesedihan kita, kita semakin emosi dan semakin berharap orang lain berubah. Kalau masih gagal juga, kita melakukan hal yang paling ridak masuk akal, menghukum diri kita sendiri dengan NELANGSA.

Pertanyaannya adalah apakah kita punya hak untuk menuntut orang lain agar dia hidup dan bertindak sesuai dengan harapan-harapan kita, agar dia hidup dan bertindak seuai dengan keinginan kita. Kita takut kehilangan alat kendali itu, dan kita tidak ingin membebaskan orang lain. Terutama, kita tidak ingin orang lain bebas dan jujur mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka tentang kita.

Fungsi Emosi

Lantas apa fungsi emosi seperti marah, sedih, nelangsa, benci, dendam, senang, gembira. Apakah kita harus menekannya? Menurut ilmu psikologi menekan (represi) dan berusaha melupakan emosi (denial) malah bisa mengakibatkan neurotis. Bisa juga mematikan sumber dinamika hidup.

Seperti air yang dibendung, bisa menjebol bendungan, emosi yang dibendung bisa menjebol jiwa kita. Tetapi seperti air yang dibiarkan meluap ke mana-mana, emosi juga bisa merusak. Tapi masih ada pilihan ketiga, seperti energi air yang bisa diubah menjadi tenaga listrik, energi emosi juga bisa diubah menjadi “bahan bakar” kebahagiaan. Tapi untuk bisa mengubah air menjadi energi, perlu dipahami dulu karakter air bukan?

Berdasarkan analogi air di atas, ajaran masyarakat “kendalikan emosimu,” itu seperti meminta kita untuk membendung air bah. Sebaliknya, saran “lampiaskan emosimu” seperti membiarkan saja air bah meluap ke mana-mana. Tinggal pilihan ketiga menyalurkan energi kreatif dari emosi. Bagaimana caranya? menurut saya emosi hanya bisa disalurkan menjadi energi positif dalam hidup jika kita memahami fungsi emosi secara tepat.

Anda bisa menggunakan emosi sebagai senjata, bisa juga sebagai alat kendali. Tetapi masih ada fungsi ketiga. Menurut saya fungsi emosi itu bukan terutama sebagai alat kendali atau senjata tetapi sebagai peringatan dini. Seperti juga pusing kepala, badan panas dingin, perut melilit-lilit, adalah peringatan dini tentang adanya sesuatu yang tidak beres dalam kesehatan kita, emosi juga befungsi sebagai peringatan dini, bahwa mungkin ada yang salah dalam cara berpikir kita.

Emosi adalah undangan untuk menengok ke dalam, memeriksa ulang apa yang kita yakini, sarana untuk mengenali diri kita, untuk tumbuh, dan berkembang. Dengan “mendengarkan” emosi kita dan menengok kedalam kita bisa menggunakan kesedihan untuk mengahiri kesedihan, menggunakan kebencian untuk mengakhiri kebencian, menggunakan dendam untuk mengahiri dendam, dengan kata lain menggunakan penderitaan untuk mengahiri penderitaan. Persis seperti air yang bisa diubah menjadi energi listrik jika kita memahami karakter air, emosi juga bisa menjadi “bahan bakar” kebahagiaan kita jika kita tahu fungsi emosi.

Tentu saja tidak semua emosi harus kita pikirkan dalam-dalam, seperti juga kita tidak harus pergi ke internis setiap kali kita pusing. Mungkin cukup minum paramex. Tetapi kalau pusing itu sudah menahun, dan tidak juga pergi dengan minum paramex. Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk bertanya apa ada yang salah dalam tubuh kita. Mungkin sudah saatnya untuk general check-up.

Demikian juga kalau kita jengkel atau marah ringan, mungkin cukup rekreasi untuk meredakannya. Tetapi kalau ada emosi yang dalam, terus menerus, dan benar-benar menghabiskan energi kita, mungkin itu saatnya untuk bertanya apakah ada yang salah dalam cara berpikir kita. Saatnya mencoba melihat ke dalam dan memeriksa ulang cara berpikir kita (bersambung).

Bertanggung Jawab Terhadap Emosi - 1

“Man must cease attributing his problems to his environment, and learn again to exercise his will - his personal responsibility.” Albert Einstein

Sejak kecil kita diajarkan untuk BERTANGGUNG JAWAB. Tetapi pada umumnya kita diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap TINDAKAN kita, misalnya tanggung jawab dalam hal keuangan, tanggung jawab dalam pekerjaan, atau tanggung jawab kepada masyarakat. Itu semua memang penting, tetapi saya ingin mencoba melihat lebih dalam, dan menjawab pertanyaan ini: apakah prinsip tanggung jawab bisa ditarik lebih jauh, tidak hanya tanggung jawab dalam soal tindakan, namun juga “TANGGUNG JAWAB DALAM EMOSI?”

Saya anggap ini pertanyaan yang penting karena emosi, seperti marah, sedih, gembira, tertekan, nelangsa, bangga, memegang peranan cukup sentral dalam menentukan apakah kita bahagia atau tidak. Emosi juga berpengaruh cukup nyata dalam relasi kita dengan orang lain. Emosi kadang bisa menghalangi atau bahkan menggagalkan usaha kita untuk mencapai tujuan jangka panjang

Akan saya mulai dengan pernyataan yang mungkin mengejutkan bagi pembaca.

TIDAK ADA SESUATUPUN ATAU SESORANGPUN YANG BISA MEMBUAT ANDA EMOSI ATAU TIDAK EMOSI. ANDA SENDIRI YANG MENENTUKAN EMOSI ANDA. ANDA TIDAK BISA MENYALAHKAN ORANG LAIN SEBAGAI PENYEBAB EMOSI ANDA.

Nah mulai terasa nada tanggung jawab dalam pernyataan itu bukan?. Tapi mungkin anda mengira saya tidak realistis dan setengah gila dengan mempercayai pernyataan itu. Ketika saya menyampaikan pernyataan itu pada kawan-kawan terdekat, hampir semua memberi tanggapan seperti ini: ”ah ... jelas-jelas si X membuat saya marah, seandainya dia tidak mengatakan apa yang dikatakannya, kan saya tidak akan marah, jelas dia menyebabkan saya emosi, dia dong yang harus bertanggung jawab terhadap kata-katanya, bukan saya”.

Kata kunci di sini adalah kata “menyebabkan,” karena itu mari kita mulai diskusi dan pemahaman kita tentang sebab-akibat.

Tentu saja kita mengerti hukum sebab akibat. Kita dorong pensil di meja, pensil menggelincir sampai pinggir meja, lantas jatuh. Dorongan saya ditambah gaya gravitasi menyebabkan pensil jatuh dari meja. Dalam dunia fisika hukum sebab akibat sangat jelas, namun dalam dunia emosi, hubungan sebab akibat ini tidak sejelas dunia fisika.

Ketika seseorang mengatakan sesuatu, apakah kata-kata itu menyelusup ke dalam benak kita dan ”menekan tombol marah”? Ketika sesorang mengatakan yang buruk tentang penampilan kita, pakaian kita, apakah dia mengirim ”gelombang kekecewaan” yang menyebabkan emosi kecewa anda? Tentu saja tidak. Jika memang betul ada ”gelombang kecewa” maka kata-kata yang sama akan menyebabkan reaksi yang sama pada semua orang. Tapi nyatanya tidak bukan? Bagaimana mungkin suara yang menjalar lewat udara, ditangkap telinga kita, kemudian secara otomatis menimbulkan tanggapan emosi. Saya mulai curiga bahwa antara kata-kata yang diucapkan seseorang dan reaksi emosi kita, ada hal lain yang menentukan.

Menurut saya, orang sulit memahami konsep”bertanggung jawab terhadap emosimu sendiri” karena orang tidak bisa membedakan antara PENGARUH dan KENDALI (KONTROL). Ini yang akan saya bahas terlebih dahulu.

Pengaruh dan Kendali

Ada perbedaan yang halus antara ”pengaruh” dan ”kendali”. Pengaruh mempunyai potensi untuk menyebabkan sesuatu, tetapi secara tidak langsung. Sedangkan kendali mempunyai akibat langsung terhadap hasil. Mari kita simak kasus di bawah ini yang memberi ilustrasi tentang peran ”pengaruh” dan ”kendali” dalam membentuk emosi seseorang.

Lina dan suaminya Henri, dua pasangan pekerja muda, menghadapi kesulitan keuangan dan sepakat untuk berhemat sampai mereka bebas dari utang. Suatu hari ketika berada di mall, Lina melihat arloji yang sudah lama diidamkan dan membelinya seharga Rp. 2.000.000. Ketika Henri melihat tagihan kartu kredit, dia marah besar. ”Koq bisa kamu boros begitu”. ”Kita kan sedang terlibat utang” teriaknya.

Apa yang menyebabkan Henri marah? Apakah kondisi keuangan mereka? tagihan kartu kredit?, pembelian Arloji? Lina yang boros? Atau semuanya?

Ternyata bukan semua itu. Yang menyebabkan Henri marah adalah keyakinannya (BELIEF) bahwa ”Suami yang baik adalah suami yang bisa mencukupi kebutuhan istrinya”. Keyakinan tersebut memberi makna pada insiden kartu kredit ini yaitu: dia bukan suami yang baik, karena dia tidak mampu membelikan arloji untuk istrinya. Henri menjadi marah kepada Lina, karena secara tidak langsung telah membuat dia merasa bukan sebagai suami yang baik. Insiden kartu kredit memaksa Henri untuk ”melihat” sesuatu yang tidak ingin dia ”lihat”.

Lina, kondisi keuangan, tagihan kartu kredit, semuanya MEMPENGARUHI keyakinan Henri tentang apa artinya “menjadi suami yang baik”. Jadi: Orang sekitar kita bisa memberi PENGARUH pada keyakinan kita. Namun kita mempunyai KENDALI langsung terhadap apa yang kita yakini. Siapa yang menentukan keyakinan Henri? Siapa lagi kalau bukan Henri sendiri. Jika Henri adalah pemilik keyakinannya, dia memiliki kuasa untuk menilai ulang apa yang diyakininya kalau dia mau.

Hal-hal di luar kita, seperti orang-orang atau peristiwa-peristiwa di sekitar kita bisa memberi pengaruh pada apa yang kita yakini, tapi anda sendiri dan hanya anda sendiri yang memberi makna pada peristiwa-peristiwa tersebut. Tak ada seorangpun yang bisa membuat anda emosi, tentu saja sekitar kita mempengaruhi, tetapi hanya anda sendiri yang menjadi tuan bagi keyakinan anda, anda sendiri yang memiliki KENDALI tentang apa yang anda yakini.

Masih belum yakin dengan penalaran di atas?

Mari kita ganti keyakinan Henri. Mencukupi kebutuhan istrinya tidak lagi menjadi kriteria suami yang baik bagi Henri. Ada banyak kriteria lain, namun mencukupi kebutuhan istrinya tidak lagi menjadi kriteria utama suami yang baik bagi Henri.

Henri tidak lagi meragukan dirinya sebagai suami yang baik. Ketika Henri melihat tagihan kartu kredit, reaksi yang muncul bukan marah tapi heran dan bertanya-tanya: “bukankah kita sudah sepakat untuk menunda pembelian barang yang mahal-mahal” pikirnya. Henri bertanya kepada Lina, dan Lina mengakui bahwa dia sudah mendambakan arloji itu sejak lama, Lina sudah sangat berhemat dan menabung selama tiga bulan dan saat itu dia ingin memanjakan dirinya sendiri dengan membeli arloji tersebut. Lina mengaku salah bahwa dia telah melanggar janji, dan meminta maaf. Mereka mendiskusikan “puasa” mereka, dan sepakat untuk “merayakan” kesulitan keuangan mereka dengan makan malam di restoran yang nyaman sebulan sekali.

Henri mengubah keyakinannya, dan dengan mengubah keyakinannya reaksi emosionalnya juga berubah. “Pemborosan” Lina, tagihan kartu kredit memang memberi pengaruh pada Henri, namun pengaruh itu tidak lagi memilik kuasa pada Henri, setelah keyakinan Henri berubah. (bersambung)